Musik Gamelan Sebuah Catatan Tentang Pendidikan, Kehidupan, dan Kekaryaan
Musik Gamelan[1]
Sebuah Catatan Tentang Pendidikan, Kehidupan, dan Kekaryaan
by Waridi
I
Kehidupan musik gamelan telah mengalami perjalanan sangat panjang.
Artinya telah hidup membudaya dan mentradisi dalam konteks ruang dan
waktu kehidupan sosial-budaya masyarakat pendukungnya. Ia telah
mewariskan estetik musikal, konsep dan hal yang bersifat teoretik, serta
memberi kontribusi dalam kehidupan membudaya masyarakat pendu¬kungnya.
Ia berhasil melewati jalan panjang secara dinamis menyesuai¬kan dinamika
sosial-budaya masyarakatnya. Tentunya dalam konteks keberlanjutan
kehidupan musik gamelan itu sendiri, tidak lepas dari tiga hal penting
yaitu: proses pengalihan kemampuan bermusik gamelan, kontribusi musik
gamelan terhadap kehidupan membudaya, dan per¬kem¬bangan kekaryaannya.
Pergeseran orientasi yang mencakup aspek musikalitas (garap dan estetika
musik gamelan), fungsi, kebebasan kreativitas kekaryaan, sistem
transmisi kemampuan (pendidikan musik gamelan), sistematisasi notasi,
dan lapangan kerja seniman musik gamelan[2], sering terjadi dalam dunia
musik gamelan. Realitas tersebut menunjukkan, bahwa eksistensi musik
gamelan tidak statis melainkan terbuka serta akomoda¬tif terhadap setiap
dinamika sosial budaya masyarakat pendu¬kungnya. Indikator meruahnya
karya musik gamelan dalam berbagai bentuk, jenis, warna, dan
peruntukkannya merupakan gejala aktual dalam musik gamelan.
Sejak tahun 1950-an para seniman karawitan mulai tum¬buh sikap baru
dalam mencetuskan gagasan/ide kekaryaan musik mereka. Hampir di semua
daerah secara bersamaan muncul seniman-seniman kreatif yang melahirkan
karya musik gamelan dalam wujud yang berbeda. Di antara mereka adalah
Tjokrowasito, Martopengrawit, Ki Nartosabda, Mang Koko, Uking Sukri, I
Gede Manik, dan I Wayan Beratha. Nama-nama yang disebut itu hanyalah
sekedar contoh, masih banyak nama-nama lain yang tidak disebut dalam
tulisan ini. Mereka mulai melahirkan kekaryaan musik gamelan yang
merefleksikan beragam fenomena kehidupan. Kekaryaan yang terlahir dari
mereka tidak sebatas untuk kepentingan konser, melainkan juga untuk
kepentingan pertunjukan jenis seni lainnya. Kekaryaan mereka pada
umumnya memperluas kekaryaan musik gamelan pada daerahnya masing-masing.
Dalam berkarya, mereka mengolah bentuk, irama, laras, dinamik, vokal,
serta teknik permainan instrumen, sehingga mengesankan kebaruan. Mereka
memanfaatkan idiom-idiom tradisi musik gamelannya masing-masing untuk
diperkaya sisi vokabuler garapnya, bentuk dan strukturnya, irama dan
larasnya, serta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Kendatipun
mereka menggunakan pendekatan kekaryaan yang berbeda-beda, akan tetapi
hampir seluruh kekaryaan yang ada mampu memperkaya repertoar pada
musiknya masing-masing. Umumnya karya-karya mereka yang terlahir, oleh
masyarakat dipandang sebagai bentuk inovasi. Saya melihat pada era
inilah terdapat pergumulan yang sekaligus perpaduan antara tradisi dan
inovasi. Kualitas kekaryaan dan virtuositas mereka terhadap musik
gamelannya masing-masing sangat menonjol, yakni berada di atas
rata-rata. Maka masuk akal jika mereka kemudian mendapat predikat
empu.[3]
Di tangan para empu inilah pengetahuan dan kemampuan bermusik gamelan
berikut kebudayaan yang menyertainya ditransmisikan kepada masyarakat
yang memerlukan serta generasi muda yang berkeinginan kuat untuk belajar
musik gamelan. Para empu ini merasa memiliki tanggung jawab moral untuk
terus menjaga keberlanjutan kehidupan musik gamelan agar tetap bertahan
hidup dan mampu menyesuaikan dengan perkembangan zamannya. Tanpa
diragukan lagi, bahwa mereka telah mampu menjawab tantangan zaman yang
terus bergulir dengan sejumlah kekaryaan dalam nafas kekinian. Oleh
karenanya kendatipun istilah kontemporer belum muncul dan terpahami pada
era masa empu ini, akan tetapi realitas kekaryaannya telah bermunculan,
bahkan (di Jawa)[4] sejak zaman kerajaan dalam pengertian yang khusus
kekaryaan-kekaryaan yang bersifat eksperimental dalam kadar tertentu
telah muncul.
Pada perkembangan dan perjalanan berikutnya (1970-an) muncul istilah
“gamelan kontemporer”, yakni sebuah istilah yang digunakan untuk
menyebut jenis kekaryaan yang mengeksplorasi bunyi gamelan dengan
membebaskan diri dari konvensi-konvensi tradisi sebagaimana yang biasa
berlaku dalam musik gamelan. Artinya pada awal munculnya kekaryaan musik
‘gamelan kontemporer’ dapat dimaknai sebagai sebuah upaya untuk
memperluas gramatika musik gamelan itu sendiri. Dalam perjalanan
selanjutnya terdapat perluasan makna ‘gamelan kontempoprer’, yakni tidak
lagi terbatas digunakan untuk menyebut kekaryaan baru gamelan,
melainkan juga digunakan untuk menyebut kekaryaan yang bersumber dari
berbagai musik etnis lainnya.[5] Bahkan di Jawa Tengah terdapat
anggapan, bahwa musik Campursari dipandang sebagai bentuk baru dari
musik gamelan. Alasannya cukup sederhana, mereka menganggap bahwa musik
campursari dipahami tetap berorientasi pada laras slendro dan pelog
serta menggunakan idiom-idiom garap musik gamelan.[6] Campursari semacam
ini, juga berkembang di wilayah-wilayah budaya lainnya seperti di
antaranya Sunda, Bali, Sumatera Barat, dan Banyuwangi. Pada umumnya
mereka dengan bangga memasukkan sejumlah instrumen seperti di antaranya
keyboard, cymbal, drums set, gitar elektrik, dan lain-lain. Oleh karena
kesan campur aduk lebih kuat dibanding kesan campursarinya.[7]
Kenyataan perluasan makna terhadap musik gamelan seperti di atas menarik
untuk mendapat perhatian. Pertanyaannya, apakah perluasan makna dan
perkembangan musik-gamelan akhir-akhir ini menguntung¬kan bagi
keberlanjutan kehidupan musik gamelan? Ataukah justru lebih mengarah
semakin menjauh dari musik gamelan? Untuk menjawab dua pertanyaan
tersebut perlu memetakan kekaryaan musik gamelan, kemudian menanggapinya
dari persepsi untung rugi dari berbagai sisi.
Di sisi lain gejala-gejala aktual tentang pendidikan musik pada dasa
warsa terakhir, tampak semakin memprihatinkan. Pada pendidikan formal
terdapat kecenderungan mempersempit pengertian musik, yakni hanya
diperuntukkan terhadap jenis ‘musik barat’. Tentunya makna semacam ini
memberi pengaruh yang kuat terhadap pilihan pengadaan alat dan materi
yang diajarkan kepada para siswa. Akibatnya dalam dunia pendidikan
formal sebagian besar mengajarkan jenis musik yang disebut ‘musik barat’
itu. Itupun sebagian besar hanya sebatas nyanyi-nyanyi dan belajar
memainkan alat yang sangat sederhana. Ironis memang, karena siswa tidak
dibiasakan belajar agar mampu mengapresiasi hakekat musik. Sehingga
sejak kecil dalam otaknya telah terbangun, bahwa musik adalah hiburan.
Akibatnya jenis-jenis musik yang tebal kadar hiburannya seperti musik
pop dianggap sebagai musik yang paling bagus. Sudah barang tentu
pemahaman semacam itu berpengaruh kuat terhadap perkembangan kehidupan
musik di masyarakat.
Dalam pendidikan musik perlu dilihat dan dipikirkan kaitannya dengan
musik-musik yang berakar dari tradisi dan kebudayaan masyarakat serta
kebutuhan metodologisnya dalam pendidikan formal. Selama ini terlihat
secara jelas (di Indonesia) terdapat kerancuan terhadap pengertian musik
dalam konteks pendidikan formal. Jika ini tidak mendapat perhatian,
kebijakan terhadap pendidikan musik tidak akan pernah memihak kepada
musik-musik yang berakar dari tradisi dan budaya masyarakatnya. Padahal
jika dirunut dari sisi historisnya selalu terdapat kesesuaian antara
peradaban dengan perkembangan musik yang berbasis pada budaya masyarakat
(musik tradisi). Dalam pengertian, bahwa musik tradisi memiliki
keterkaitan yang erat dengan kehidupan membudaya suatu komunitas
masyarakat tertentu. Maka memerlukan metodologi yang tepat.
Apakah di era modern ini, musik tradisi mendapat perhatian yang
proporsional dalam bidang pendidikan? Ataukah justru memandang musik
semata-mata sebagai barang dagangan? Bagaimana para pembijak dan pelaku
(terutama di Indonesia) memahami pendidikan musik dalam pendidikan
formal? Akhirnya dalam konteks kehidupan musik perlu dipertanyakan pula,
apakah secara realitas perkembangan musik gamelan mengarah kepada
peningkatan perbaikan kehidupan musik gamelan itu sendiri? Terakhir
secara spesifik perlu pula diajukan sebuah pertanyaan sebagai berikut
apakah kehadiran gamelan kontem¬porer merupakan keberlanjutan dari
tradisi gamelan ataukah justru terdapat gejala untuk memisahkan diri
dari tradisi?
II
Pada awalnya terdapat tanda-tanda yang cukup jelas untuk menjadikan
musik gamelan (karawitan) sebagai ciri musik yang mencerminkan ke
Indonesiaan. Indikator ini tampak, pada tahun 1950 pemerintah mendirikan
sekolah musik dengan nama Konservatori Karawitan Indonesia di
Surakarta. Kendatipun pada masa itu konon terjadi pertentangan yang
sengit antara yang setuju dan tidak setuju, namun Konservatori Karawitan
Indonesia di Surakarta tetap berdiri. Bahkan secara bertahap pada
tahun-tahun berikutnya pendidikan formal karawitan tersebut didirikan
pula di berbagai kota di Indonesia yang dipandang sebagai pusat-pusat
kebudayaan gamelan seperti Bali, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan
Padang.[8] Daerah-daerah tersebut dalam kadar dan jenis yang berbeda
merupakan pemilik budaya musik gamelan yang sangat kuat. Awal
pelaksanaan pendidikannya merekrut para empu (maestro) yang berasal dari
daerahnya masing-masing untuk didudukkan menjadi tenaga pengajar.
Selanjutnya para empu tersebut secara oral mentrans¬mi¬sikan kemampuan
mereka kepada para siswa Konservatori, baik secara praktik dan
pengetahuan yang menyertainya. Hasilnya cukup menggem¬birakan, bahwa
lulusan konser¬vatori rata-rata memiliki kemampuan karawitan yang baik.
Maka, umumnya mereka memiliki kewibawaan di masyarakat. Selanjutnya para
lulusan Konservatori Karawitan ini bekerja di berbagai daerah dan
bersama masyarakat melakukan aktivitas berkarawitan. Pada umumnya mereka
sekaligus menjadi pendidik musik gamelan di tengah-tengah masya¬rakat.
Mereka bermain musik dengan masyarakat, menggarap musik gamelan dengan
masyarakat, dan sekaligus memberi pelajaran musik gamelan kepada
masyarakat.[9] Mulai saat inilah secara pelan-pelan tradisi belajar
musik gamelan secara oral mulai tergantikan dengan budaya belajar
gamelan melalui tulisan (notasi).[10]
Lewat Konservatori ini pula kekaryaan musik gamelan, baik di tingkat
repertoar, vokal, maupun terhadap pola-pola dasar permainan instrumen
berhasil didokumentasikan. Hasilnya digunakan untuk kepentingan acuan
belajar musik gamelan oleh mereka yang memerlukan, di samping sebagai
bentuk penyelamatan terhadap warisan repertoar-repertoar dan pola dasar
permainan instrumen.[11] Melihat keberhasilan pendidikan musik gamelan
yang diselenggarakan oleh Konservatori Karawitan, pemerintah mendirikan
pendidikan musik gamelan di tingkat perguruan tinggi.
Mulai tahun 1960-1970-an pemerintah Indonesia mendirikan sejumlah
perguruan tinggi seni di Yogyakarta, Surakarta, Bandung, Denpasar Bali,
dan Padang Panjang Sumatera Barat, yang di dalamnya juga
menyelenggarakan pendidikan gamelan. Pendirian perguruan tinggi seni ini
memacu munculnya kekaryaan gamelan dalam wujud yang sangat beragam,
baik dari sisi warna garap, kekaryaan, maupun fungsinya. Di samping juga
muncul gagasan-gagasan dan/atau kajian-kajian yang lebih bersifat
teoretis. Pendek kata konservatori karawitan dan perguruan tinggi seni
dalam kadar tertentu telah berhasil mencetak seniman-seniman karawitan
handal yang memiliki kadar intelektual cukup baik. Dari tahun ke tahun
lulusan karawitan terus bertambah dan menyebar ke berbagai daerah. Oleh
karena itu kehidupan musik gamelan tradisi sampai dengan pertengahan
tahun 1980-an hidup secara subur. Hampir setiap kalurahan, instansi,
perusahan, dan komunitas-komunitas, serta sekolah-sekolah membentuk
group musik gamelan. Para alumni sekolah karawitan dan ahli musik
gamelan bertindak sebagai pendidik gamelan secara profesional. Berkat
kehidupan musik gamelan seperti itu, pendidikan gamelan di
sekolah-sekolah formal pun dapat berjalan dengan wajar. Entah siapa yang
memulai sejak akhir tahun 1980-an pendidikan gamelan yang pada awalnya
dapat berjalan secara baik di sekolah-sekolah formal, mulai surut dan
puncaknya banyak sekolah yang mengganti dengan materi ‘musik Barat’.
Mulai saat itulah pendidikan musik gamelan pelan-pelan terus tersisih.
Adalah suatu fenomena yang sangat memprihatinkan, sebab dengan demikian
para anak usia sekolah mulai dijauhkan dari musik yang berkait erat
dengan lingkungan sosialnya. Dampak panjangnya anak usia sekolah semakin
senjang dan kurang tertarik terhadap musik gamelan dan lebih akrab
dengan musik yang diambil dari luar budaya mereka..
Pendidikan musik atau seni sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu dan
bersifat unik. Artinya seperti apa pendidikan seni itu terlaksana sangat
bergantung dimana dan kapan pendidikan seni itu dilakukan. Keunikan
pendidikan seni, disebabkan karena kesenian berurusan dengan persoalan
estetik, ekspresif, dan kreatif. Kesemuanya itu memiliki sifat multi
tafsir, sehingga sering mengundang perdebatan yang serius karena
terdapatnya perbedaan persepsi.
Watak pendidikan musik gamelan sendiri (juga bagi musik pada umumnya)
sesungguhnya tercermin pada pemberian pengalaman estetik terhadap para
peserta didik. Dalam pendidikan musik gamelan, pengalaman estetik
merupakan keharusan yang perlu diberikan kepada peserta didik. Karena
pada dasarnya, esensi musik gamelan adalah estetik-musikal dan budaya
yqang melatarbelakanginya. Pengalaman estetik meliputi persepsi
estetik, tanggapan estetik, kreasi estetik, dan ekspresi estetik. Untuk
itu dalam rangka menjangkau pengalaman estetik itu, pendekatan praktis
dan auditif perlu mendapat perhatian.
Pengalaman estetik dalam musik gamelan adalah spesial, yakni sesuatu
yang melibatkan emosional sepenuh hati terhadap aspek-aspek musikal.
Untuk itu memerlukan pengetahuan dan pengalaman dalam konteks budaya.
Pengalaman semacam inilah yang dapat mengantarkan peserta didik untuk
mampu menangkap nilai-nilai keindahan dan budaya. Pengalaman estetik
dapat dikembangkan dengan cara pengembangan kepekaan melalui kreasi,
proses mengalami (praktik bermusik), dan proses menghayati.
Permasalahan pokok pendidikan musik di sekolah-sekolah umum adalah
terletak pada pemahaman terhadap musik, pemilihan materi musik berikut
alasannya, dan metodologi pembelajarannya. Entah dengan menggunakan
logika seperti apa, bahwa kebanyakan orang memberi pengertian musik
hanya sebatas terhadap Musik Barat saja. Musik seharusnya dipahami
sebagai segala jenis seni bunyi dan seni yang bersifat auditif. Materi
pendidikan musik semestinya adalah yang bertolak dari budayanya sendiri
(di antaranya musik gamelan), bukan bertolak dari Musik Barat. Dengan
demikian pendidikan musik di Indonesia antara sekolah formal yang ada di
daerah yang satu dengan daerah lainnya bisa saja materinya berbeda dan
disesuaikan dengan kehidupan musik masyarakat lingkungannya.
Persamaannya terletak pada masalah metodologi pembelajarannya. Pada
dekade terakhir ini siswa-siswa di pendidikan formal (sekolah umum)
semakin senjang dengan musik tradisi. Pada umumnya mereka lebih tertarik
terhadap jenis musik pop yang lebih menghibur (bahkan seolah-olah musik
pop telah menjadi bagian dari kehidupan mereka). Hampir dapat
dipastikan, bahwa koleksi kaset dan/atau CD-VCD yang dimiliki oleh para
siswa sekarang adalah jenis-jenis musik Pop itu.
Tujuan pendidikan musik gamelan di sekolah-sekolah umum (non kesenian)
bukan dimaksudkan untuk mencetak peserta didik menjadi pelaku
seni/seniman yang memiliki virtuositas tinggi sebagai musisi dan bukan
pula diarahkan untuk menjadi pengkaji, peneliti, analis karya-karya
musik gamelan, serta komponis. Akan tetapi peserta didik lebih
diarahkan untuk mengenali, menghargai, melatih kepekaan, merang¬sang
kreativitas, berkemampuan untuk menikmati estetik musikalnya, serta
dalam batas-batas tertentu mampu mengalaminya. Cara memahami berbagai
pengetahuan dasar musik gamelan serta mengenali unsur-unsur musikal
musik gamelan kiranya tidaklah cukup hanya dilakukan lewat membaca
buku-buku saja. Peserta didik perlu diajak untuk mengenali sejumlah
fenomena musikal dengan cara mendengarkan contoh-contoh kongkrit, agar
terbangun sensitivitas musikalnya. Sehubungan dengan itu diperlukan
buku-buku khusus tentang pengetahuan musik gamelan yang mampu secara
cepat mengantarkan para peserta didik untuk memahami isinya. Tentunya
buku-buku itu harus tersaji dengan bahasa yang mudah dicerna, lugas, dan
disertai contoh-contoh audio/audio visual yang dapat membantu untuk
memahami persoalan-persoalan musikal musik gamelan.
Dengan cara yang demikian itu pendidikan musik memiliki kekuatan
meningkatkan kemampuan untuk mengapresiasi musik dalam konteks kehidupan
masyarakat. Pendidikan musik semacam ini merupakan upaya nyata untuk
memberikan pemahaman, keterampilan, merangsang kreativitas, serta
peningkatan anak dalam mengapresiasi musik yang hidup di lingkungannya
maupun yang hidup di komunitas yang berbeda. Harapannya lewat pendekatan
model apresiasi, anak mampu merubah persepsi mereka terhadap
berbagai jenis musik ke arah yang lebih positif. Lagi-lagi masalah ini
memerlukan pendekatan yang mampu merangsang anak agar tertarik dan
serius dalam mengikuti pendidikan musik.
Selama ini pendidikan musik di sekolah umum berdasarkan pengamatan
terhadap proses pembelajaran musik di sejumlah sekolah dasar dan
menengah antara guru dan murid lebih cenderung berjalan secara searah,
yakni hubungannya lebih bersifat vertikal. Pendekatan semacam ini,
mengakibatkan proses komunikasi hanya berjalan secara searah, yakni dari
guru mengalir ke murid. Tentunya proses pembelajaran semacam ini
kreativitas dan kemandirian anak tidak dapat tumbuh secara wajar.
Menurut pandangan saya sebaiknya dalam pembelajaran musik, harus
mencakup tiga hal, yakni melatih kepekaan auditif, memberi pengalaman
praktik, dan merang¬sang kreativitasnya. Dengan bekal tiga hal itu
siswa akan berani menge¬mu¬kakan pendapat¬nya setelah mereka menghayati
atau menga¬pre¬siasi sajian musik. Dengan cara ini mereka terpupuk
kemampuan¬nya dalam menikmati dan menghayati setiap musik yang mereka
dengarkan. Perpaduan antara kepekaan terhadap unsur-unsur musikal dan
pengalaman praktik akan mampu mendorong siswa ke arah lebih kreatif
terhadap ritme, dinamika, melodi, dan sebagainya. Jika ini terjadi
bukan tidak mungkin berdampak kuat terhadap lahirnya kekaryaan musik
gamelan yang lebih berkualitas, karena telah terdapat apresiator yang
terlatih.
III
Kekaryaan musik gamelan yang hidup dan berkembang di masyarakat sekarang
cukup beragam. Selain karya-karya warisan para empu zaman dulu, di
tengah masyarakat menjamur karya-karya musik gamelan (dalam pengertian
luas) dalam jenis dan warna garap yang beragam. Sejak dari yang “garap
ndangdut”, “garap langgam”, campuran sampai yang disebut “kontemporer”.
Jenisnya meliputi: komposisi mandiri untuk keperluan konser musik,
komposisi musik gamelan untuk keperluan pertunjukan tari, wayang purwa,
wayang wong, ketoprak, ludruk, dan komposisi yang dimanfaatkan untuk
keperluan aneka pertunjukan seni rakyat serta untuk ilustrasi film dan
sinetron. Dari sekian jenis kekaryaan musik gamelan yang ada, jenis
‘gamelan kontemporer’ paling banyak mendapat perhatian dalam tataran
wacana.
Istilah kontemporer, dalam kekaryaan musik gamelan mulai menjadi wacana
hangat sejak tahun 1970-an pada saat Dewan Kesenian Jakarta secara
melembaga menyelenggarakan Pekan Komponis Muda di Taman Ismail Marzuki.
Kendatipun demikian, sebenarnya gejala kekaryaan gamelan kontemporer
telah ada, jauh sebelum perhelatan formal tersebut diselenggarakan.
Masalahnya adalah seberapa jauh musik gamelan kontemporer tersebut
dimaknai? Hal ini penting untuk dipertanyakan, sehubungan bahwa di dalam
kalangan masyarakat musik gamelan terdapat kecenderungan untuk
membedakan secara dikotomis antara kekaryaan musik gamelan “tradisi”
dengan kekaryaan musik gamelan yang lazim disebut “komposisi”.
Selanjutnya dalam wacana, “komposisi musik gamelan” inilah yang dipahami
sebagai karya “gamelan kontemporer”. Di sini mulai terdapat masalah
yang agak serius dalam memaknakan istilah komposisi. Bukankah
repertoar-repertoar dalam gamelan tradisi juga merupakan komposisi
musikal dalam musik gamelan?
Kerancuan ini bermula dari silang sengkarutnya dalam memaknai komposisi
disama-artikan dengan pendekatan penciptaan kekaryaan musik gamelan.
Karya musik gamelan tradisi maupun yang disebut karya ‘musik gamelan
kontemporer’, keduanya adalah komposisi musik gamelan. Hal yang
membedakan wujud keduanya, terletak pada pendekatan penciptaan yang
digunakan oleh komponisnya. Jika karya karawitan yang bertolak dan tetap
setia terhadap idiom-idiom tradisi disebut komposisi gamelan tradisi,
sedangkan kekaryaan karawitan yang memandang, menempatkan, dan
mengeksplorasi bunyi gamelan dengan tanpa berpijak pada
konvensi-konvensi gamelan tradisi selalu disebut sebagai komposisi
‘gamelan kontemporer’. Pemaknaan semacam inipun masih tetap mengandung
kerancuan, karena terdapat pandangan yang mengartikan kontemporer adalah
kekinian. Pandangan yang terakhir ini menyiratkan makna, bahwa setiap
perubahan musik gamelan yang bertujuan untuk menyesuaikan hasilnya
dengan dinamika sosial, berarti kontem¬porer. Jelas pada makna yang
terakhir ini kehadiran ‘gamelan kontemporer’ menyiratkan sebuah
keberlanjutan dari gamelan tradisi.
Musik gamelan memiliki potensi yang cukup besar untuk beradaptasi dengan
dinamika zaman. Sejarah dalam perjalanan kehidupannya telah memberi
bukti yang cukup kuat terhadap pernyataan itu. Satu contoh kongkrit
dapat dilihat apa yang terjadi di dalam Musik gamelan, di Jawa Tengah,
di Jawa Barat, di Bali, di Sumatera Barat, di Sumatera Utara, di
Banyuwangi, dan saya kira juga yang terjadi di daerah-daerah lainnya.
Keberadaannya hingga sekarang tetap terdapat garis keberlanjutan dari
masa-masa sebelumnya.
Khususnya di Jawa dapat disimak bagaimana terbukanya musik gamelan
terhadap kehadiran budaya musik dari luar budaya Jawa. Ia memberi
toleransi yang luar biasa pada abad 19 dan awal abad 20, ketika musik
gamelan Jawa di Kraton dipersandingkan dengan sajian Orkestra Barat. Di
sisi lain, musik gamelan Jawa juga telah memberi toleransi yang cukup
besar terhadap masuknya birama bermatra tiga dan sistem paduan suara
dalam karya-karya gendhing. Bagaimana ketika para pengrawit mengadopsi
lagu Kebangsaan Thailand ke dalam Ladrang Siyem dan juga peristiwa
kolaborasi para pengrawit (musisi gamelan Jawa) dan kaum agamawan Islam
di Kraton Kasunanan Surakarta yang melahirkan genre musik Santiswara.
Ini hanyalah sekelumit indikator kecil sifat toleran musik gamelan Jawa.
Di daerah lain, kita dapat melihat bagaimana instrumen dari luar daerah
budayanya masuk dalam budaya musiknya dan tanpa terasa sekarang telah
menjadi milik mereka. Contoh biola telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam musik gamelan Gandrung Banyuwangi dan dalam ansambel
Rebab Pasisie di Sumatra Barat. Artinya, instrumen biola oleh masyarakat
pemilik musik Gandrung Banyuwangi dan masyarakat Pesisir Sumatra Barat
sudah tidak lagi dipandang sebagai instrumen pinjaman dari budaya musik
asing, melainkan telah dipandang sebagai bagian dari ansambel musik
mereka. Fakta-fakta yang disebut itu menunjukkan, bahwa di dalam tubuh
musik gamelan, sejak lama secara musikal telah bersemayam potensi sifat
terbuka dan akomodatif untuk berdialog dengan musik-musik yang datang
dari luar budayanya. Di sisi lain dapat dikatakan pula, bahwa hal ini
merupakan kreativitas para seniman dalam mengolah potensi-potensi lain
yang terdapat dalam musik gamelan tersebut, sehingga karya-karya yang
terlahir memiliki makna musikal, berkualitas, dan tetap mampu
menunjukkan identitas budayanya. Sekali lagi, bahwa sifat terbuka
tersebut salah satu faktornya karena dalam musik gamelan memiliki
berbagai potensi.
Berbagai potensi musik gamelan dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. Secara fisik (organologis), memiliki instrumen yang beragam: jenis, bentuk, ukuran, dan warna suara.
2. Memiliki keragaman dan kekayaan vokabuler garap instrumen dan vokal, serta idiom-idiom yang unik dan khas.
3. Memiliki sifat yang terbuka dan lentur, serta akomodatif terhadap masuknya unsur-unsur lain.
4. Memiliki ciri kebersamaan, toleran, demokratis (masing-masing
musisi dapat menginterpretasi dan tidak terikat secara ketat terhadap
score instrumen yang dimainkan)
Potensi-potensi ini oleh para kreator dijadikan sebagai pacu kreatif
dalam melakukan eksplorasi musikal. Idiom-idiom yang berupa aneka ragam
vokabuler garap instrumen dan vokal memberi kebebasan para musisi,
maupun kreator untuk menginterpretasi ulang karya-karya yang sudah ada
baik untuk keperluan sajian, dan atau melahirkan sebuah kekaryaan baru.
Berbagai aspek internal musik gamelan seperti terurai di atas, merupakan
potensi-potensi yang dapat memberikan berbagai kemungkinan untuk
menumbuhkan imajinasi para kreator dalam menciptaka kekaryaan musik
gamelan (dalam wajahnya yang baru), agar tetap dapat berbicara dalam
setting budaya masyarakat sekarang. Kebaruan kekaryaan musik gamelan,
sangat bergantung kepada tingkat kreativitas para komposernya.
Dalam dunia musik, kreativitas merupakan suatu tindakan untuk
menghasilkan sesuatu yang “baru”. Kata lain, kreasi hanya akan selalu
dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki kreativitas. Oleh karenanya,
tindakan semacam ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki
sikap mandiri, bekal kreativitas, wawasan dan pengalaman estetik yang
cukup. Karena hakikatnya, pernyataan ide merupakan aktualisasi diri bagi
mereka yang menyatakannya. Maka memerlukan keberanian, keseriusan, dan
bekal untuk bertindak.
Komponis dalam mencipta kekaryaan musik gamelan berangkat dari sebuah
rangsangan kreatif yang datang dari luar dirinya dan/atau fenomena
psikologis dari dalam dirinya sendiri. Rangsangan kreatif itu berbentuk
fenomena musikal, fenomena psikologis, dan/atau fenomena sosial-budaya.
Hasil ciptaannya sangat bergantung dari rangsangan kreatif yang
ditangkap dan ditanggapi melalui proses imajinasi, ide, tujuan
penciptaan, dan proses kreatif. Dengan demikian karya-karya musik
gamelan yang terlahir dari para empu dan/atau komponis yang berbasis
pada gamelan tradisi adalah sebuah refleksi dari apa yang terjadi dalam
lingkungan kulturnya yang dikomuni¬kasikan kepada masyarakat luas
dan/atau difungsikan untuk berbagai kebutuhan hidup membudaya
masyarakatnya. Jika demikian halnya, maka kekaryaan musik gamelan
sebenarnya adalah hasil tanggapan dan imajinasi mendalam terhadap
rangsangan kreatif yang diolah berdasarkan prinsip-prinsip estetik
musikal untuk dikomunikasi¬kan kepada para audiencesnya. Wujud, sifat,
dan bentuk akhirnya, sangat bergantung atas pilihan pendekatan yang
digunakan. Maka bukanlah hal yang aneh jika kekaryaan musik gamelan yang
terlahir adalah beragam. Dalam mewujudkan kekaryaan musik gamelan
terdapat hubungan antara proses, medium, dan produk kekaryaannya.
Hubungan antara proses, medium, dan produk dalam aktivitas musik gamelan
adalah konkret. Proses selalu dimaknai sebagai serentetan aktivitas
yang dilakukan oleh seniman untuk mewujudkan kekaryaan musik gamelan itu
sendiri. Suara yang bersumber dari gamelan menjadi bermakna secara
musikal setelah diatur tinggi rendahnya, disusun ke dalam wujud melodi,
diberi ritme, diolah tempo dan irama, diolah war¬na¬nya, diolah
dinamiknya, serta diikat ke dalam satu kesatuan dan diatur harmonisasi
antar bagian-bagiannya.
Terdapat dua ranah penting yang secara konseptual dikerjakan oleh para
komponis gamelan (empu), yakni konsep keberlanjutan dan pembaruan. Oleh
karenanya, kendatipun karya-karya musik gamelan tersebut terlahir dalam
wujud yang beragam, akan tetapi garis keberlanjutan dari gamelan tradisi
tampak demikian jelas. Pada umumnya hasil kekaryaan semacam itu
berhasil melebur ke dalam repertoar-repertoar tradisi lainnya dan
disajikan dalam pertunjukan-pertunjukan gamelan. Tentunya untuk dapat
menghasilkan kekaryaan musik gamelan seperti itu diperlukan modal
penguasaan vokabuler gamelan tradisi yang kuat dan tingkat kreativitas
yang tinggi.
Modal dasar yang kuat, dan kemampuan menanggapi rangsangan kreatif
meru¬pa¬kan faktor pen¬ting dalam mem¬ben¬tuk ciri khas karya-karya
mereka. Pada umumnya para komponis gamelan tidak puas dengan pengetahuan
yang telah diterima dari generasi sebelumnya. Mereka seca¬ra aktif dan
dinamis berupaya membentuk diri mereka sendiri. Tindakan mereka yang
demikian itu telah meng¬hasil¬kan citra manusia yang dinamis,
anti-deterministik, dan penuh opti¬mis¬¬me. Mereka dalam ling¬kungan
sosialnya memiliki kepercayaan diri yang terus bergerak aktif lewat
tindakan kreatif untuk membentuk karis¬ma diri mereka tanpa harus
mengabaikan lingkungan sosial yang meling¬ku¬pi¬¬nya. Karya-karya dari
buah kreativitas mereka begitu beragam, baik dari sisi pendekatan,
jenis, bentuk, ide, garap, tujuan, maupun keperluan. Dalam konteks yang
demikian karya-karya tersebut adalah memperkaya repertoar tradisi yang
sudah ada serta mampu mencirikan identitas komponisnya.
Realitas kekaryaan musik gamelan (karawitan)[12], sebagian besar-dalam
arti yang luas- dalam tiga dekade terakhir (1990-an) terdapat
kecenderungan berorientasi kepada upaya pencitraan “ke-modern-an”.
Orientasi yang demikian itu akibat kuatnya pengaruh bidang lain seperti
ekonomi, sosial, politik, serta dinamika perubahan yang terus
menggelinding. Agar dianggap lebih mencitrakan “ke-modern-an” terdapat
seniman yang mengambil jalan pintas dengan cara memasukkan
instrument-instrument “yang dianggap modern”. Penggunaan instrument
pinjaman pada berbagai musik rakyat/ tradisi yang nampak sekarang tidak
hanya sekedar untuk dapat disebut “modern”. Lebih dari itu, juga
terdapat tujuan agar memiliki dampak meningkatkan nilai jual atau nilai
komersial. Secara “sadar dan sengaja” mereka, (terutama produser),
memberi label “modern” pada (jenis dan produk) musiknya. Penempelan
label “modern” di sini biasanya hanya dengan usaha sebatas menggunakan
alat musik keyboard dan instrumen-instrumen elektrik lainnya, seperti
pada contoh kesenian “Kendang Kempul Modern“, “Gandrung Modern“, “Calung
Modern“, Campursari, dan sebagainya. Pada dasarnya penyertaan
instrumen-instrumen itu kurang atau belum disertai suatu usaha untuk
meningkatkan kualitas maupun penyodoran ide inovatif/kreatif yang
berarti. Di sisi lain beberapa dampak yang kemungkinan kurang
menguntungkan terhadap budaya musiknya sendiri, nampaknya kurang
mendapat pertimbangan secara mendalam. Contoh terdapat sejumlah gamelan
yang dirubah tuningnya hanya agar sama dengan tuning keyboard. Larasan
gamelan yang nota bene merupakan budayanya sendiri dikorbankan dan
dikalahkan oleh sistem tuning keyboard. Adalah sebuah tindakan yang
sangat ironis, jika dilihat dari sisi kebudayaan. Bilamana kekaryaan
semacam ini yang terus berkembang, maka aspek kualitas musikal dan
keterkaitannya dengan persoalan kebudayaan akan terus semakin
terpinggirkan. Dalam kata lain karya musik yang dibuat dengan tujuan
pemenuhan selera massa yang berlebihan tanpa diimbangi dengan
karya-karya yang berorientasi terhadap kualitas musikal lambat laun
dapat mendangkalkan daya apresiasi masyarakat itu sendiri. Sebenarnya
penggunaan alat-alat musik di luar budaya musiknya telah banyak
diberlakukan secara sah di berbagai wilayah budaya musik di Indonesia.
Seperti penggunaan triangle dan biola pada perangkat musik gamelan
gandrung Banyuwangi, penggunaan biola pada musik gamelan Minang,
penggunaan brass instruments pada Tanjidor, dan alat-alat musik barat
pada tradisi kroncong atau langgam, penggunaan terompet dan snar drum
pada musik gamelan Jawa di Keraton. Langkah yang demikian merupakan
sikap dan tindakan kreatif, yang disertai dengan alasan-alasan dan
tujuan yang jelas, serta dapat dipertanggung jawabkan secara estetik,
etik maupun kultural.[13] Oleh karenanya kehadiran instrumen-instrumen
tersebut tidak pernah dipersoalkan, dan justru telah melebur menjadi
bagian yang integral dalam budaya mereka.
Musik gamelan memiliki sifat lentur dan cair. Sifat yang demikian itu,
karena ia sepanjang hidupnya selalu berada dan hidup dalam lingkungan
masyarakat yang selalu berubah-ubah. Musik gamelan bersifat kolektif,
multi tafsir, dan akomodatif yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan
bersama. Karenanya, mati, hidup, dan berkembangnya sangat bergantung
dedikasi dan kesetiaan masyarakat pendukungnya. Pengertian ini harus
ditafsir dan diartikan bahwa keberlangsungan hidup musik gamelan bukan
hanya menjadi tanggung jawab seorang atau sekelompok orang, akan tetapi
merupakan tanggung jawab bersama seluruh pemiliknya. Para kreator musik
gamelan memiliki peranan yang cukup penting dalam menjaga kelangsungan
kehidupan musik gamelan. Diperlukan sentuhan-sentuhan kreatif para
kreator, agar musik gamelan dapat survive dalam dinamika zaman yang
terus bergerak. Jadi menurut saya titik permasalahannya bukan terletak
pada istilah tradisi atau kontemporer, melainkan lebih kepada substansi
kekaryaannya, yakni karya musik gamelan yang mampu berbicara dalam
konteks kehidupan manusia.
Sukaharjana mencatat bahwa istilah kontemporer sendiri menjadi polemik
yang cukup seru pada tahun 1980-an, dan bahkan telah banyak menimbulkan
kesalahpahaman. Di Amerika dan Eropa yang merupakan ibu kandung istilah
ini dilahirkan, sejak lama sudah tidak lagi mempersoalkan istilah
kontemporer. Kata kontemporer dalam musik tidak menunjuk pada sesuatu
yang spesifik, melainkan menyiratkan suatu waktu “masa kini” atau yang
bersifat kekinian.[14] Menyimak pemaknaan itu, kata kunci kontemporer
terletak pada sifat kekinian suatu karya. Jika demikian, logikanya
setiap gaya musik muncul karya-karya yang memiliki sifat kekinian pada
zamannya. Persoalan yang kemudian perlu mendapat elaborasi lebih detail
dan jelas adalah substansi kekinian itu sendiri.
Substansi kekinian terletak pada sifat-sifat dasar musik kontemporer
pada setiap zaman, yakni berkait dengan kebutuhan pembaruan sebagai
tuntutan terhadap masa lalu yang dianggap sudah tidak relevan pada masa
kini.[15] Dalam kekaryaan gamelan kontemporer sifat-sifat kebaruan yang
selama ini muncul terletak pada pengolahan bentuk, laras, pathet, irama,
dinamik, instrumentasi, penggunaan idiom, serta kreativitas
mereinter¬pretasi vokabuler yang telah ada. Dengan demikian karya
gamelan kontemporer yang muncul sebagian besar berakar kuat dari
aspek-aspek musikalitas gamelan sebagai pijakannya.
Memperhatikan pemaknaan seperti itu, maka gamelan kontemporer salah
satunya dapat diberi pengertian komposisi gamelan yang memiliki warna
kebaruan dan kekinian. Kebaruan dan kekinian bukan dalam pengertian yang
bersifat revolusioner, akan tetapi lebih dimaknakan memiliki nuansa
kebaruan dari berbagai aspek dan garap musikalitasnya. Kebaruannya dapat
tercermin dalam kreativitas pengolahan bentuk, laras, pathet, irama,
dinamik, instrumentasi, penggunaan idiom, atau kreativitas dalam
mereinterpretasi vokabuler yang telah ada. Apabila pengertian ini dapat
disepakati, maka sebenarnya pengertian ‘gamelan kontemporer’ sendiri
tidak menunjuk pada spesifikasi tertentu sebagai sebuah aliran kekaryaan
karawitan atau yang terlahir pada pereode tertentu, melainkan juga
mencakupi karya-karya karawitan yang terlahir yang di dalamnya
mencerminkan kebaruan dan kekinian. Fakta yang ada di lapangan
menunjukkan, bahwa kehadiran karya ‘gamelan kontemporer’ adalah suatu
kenyataan baru, namun tidak menghapus karya yang telah ada sebelumnya.
Justru sebaliknya, bahwa kehadiran karya-karya ‘karawitan kontemporer’
sebagian memanfaatkan potensi-potensi karawitan yang ada sebelumnya. Hal
demikian terjadi bukan terbatas dalam kurun waktu tertentu, melainkan
bergulir dari masa ke masa. Selanjutnya karya-karya itu dalam
perjalanannya terseleksi secara ketat oleh masyarakat. Hanya karya-karya
yang berkualitas saja yang memiliki daya tembus terhadap dinamika
zaman.
Di tingkat realitas kata kontemporer dalam terminologi kekaryaan seni
masih ditafsirkan dalam makna dan pengertian yang beragam. Terdapat yang
mengartikan “kekinian”, tanpa harus mendikotomikan tradisi dan non
tradisi. Dalam konteks ini pengertian yang dibangun lebih mengutamakan
sikap seniman dalam menelorkan karya-karyanya tanpa harus memandang
kekaryaannya masih kental dengan idiom-idiom tradisi atau tidak. Yang
lebih dipentingkan adalah kualitas kekaryaannya dan mencerminkan
“kekinian”. Karya ‘gamelan kontemporer’ dalam pengertian semacam ini
secara jelas dapat dikatakan sebagai keberlanjutan tradisi.
Terdapat pula yang mengartikan kontemporer sebagai sebuah kekaryaan yang
sudah melepaskan diri dari idiom-idiom dan konvensi-konvensi tradisi.
Di kalangan masyarakat karawitan terdapat sebagian yang mengacu
pengertian ‘gamelan kontemporer’ yang kedua, yakni kekaryaan yang
melepaskan diri dari idiom-idiom dan konvensi-konvensi tradisi. Dalam
konteks yang demikian gamelan bukan lagi dipandang sebagai ansambel
untuk keperluan menyajikan karya tradisi, namun lebih dipandang sebagai
sumber bunyi yang dapat dieksplorasi kekuatannya dalam menghasilkan
bunyi/suara yang diinginkan. Dalam menyebut ‘gamelan kontemporer’ atau
karya musik kontemporer lebih sering disebut sebagai komposisi saja.
Seperti telah disebut di muka penyebutan semacam itu adalah sebuah
kesalah-kaprahan yang perlu diluruskan. .
Pengertian seperti itu membawa implikasi yang sangat jelas, bahwa
‘gamelan kontemporer’ dilepaskan dari tradisinya. Karena dasar
kekaryaannya seperti itu, maka secara realitas terdapat kekaryaan
kontemporer yang lebih mementingkan penemuan bunyi-bunyi baru tanpa
memikirkan keterkaitannya dengan aspek budaya yang melingkupinya. Akibat
orientasinya adalah penemuan bunyi-bunyi baru yang berbeda dengan
tradisi yang dikuasainya, maka proses pinjam-meminjam dan/atau
pemanfaatan terhadap jenis musik di luar budayanya pun bukan menjadi
masalah. Tentunya kekaryaan semacam inipun terdapat keuntungan dan
kerugiannya. Keuntungannya terdapat upaya secara sungguh-sungguh untuk
menjelajahi berbagai kemungkinan dalam menemukan bunyi-bunyi baru
sebagai sebuah alternatif kekaryaan. Temuan bunyi-bunyi baru itu akan
menjadi bermakna jika kemudian diolah menjadi kekaryaan yang utuh dan
mampu menawarkan wacana kebaruan dan bermanfaat bagi pengkayaan
kekaryaan musik gamelan. Jika tidak, kehadiran kekaryaan ‘gamelan
kontemporer’ tidak pernah mampu menemukan audiencesnya. Ibarat bayi
terlahir kemudian mati.[16] Kerugian lainnya kadang ‘gamelan
kontemporer’ dijadikan sebagai pelarian bagi mereka yang kurang
menguasai aspek-aspek musikal gamelan. Akibatnya terdapat pula perlakuan
yang kurang wajar terhadap instrumen gamelan.
Sekedar contoh, bahwa pada tahun 1980-an di Surakarta terdapat mahasiswa
demi mewujudkan kekaryaan ‘gamelan kontemporer’ terjadi perlakuan
terhadap instrument gong secara semena-mena, yakni melempari gong dengan
batu-batu kecil untuk mendapat efek bunyi tertentu. Gong sebagai sebuah
simbol kebudayaan memiliki makna yang khusus bagi pemilik budaya,
sehingga ketika diperlakukan secara kurang wajar timbul masalah dengan
pemilik budaya itu. Dari sisi lain cara semacam itu dapat merusak gong
itu sendiri. Atas kejadian semacam itu terdapat salah seorang empu yang
marah besar dengan menyarankan agar kekaryaan-kekaryaan sejenis itu
sebaiknya dipertimbangkan kembali. Pandangan empu tersebut bukan
bermaksud untuk membatasi sebuah kreativitas, melainkan bertujuan agar
setiap kekaryaan dilandasi visi yang jelas. Visi tentang kompositoris,
ide musikal, serta ide garapnya. Dengan demikian kekaryaan ‘gamelan
kontemporer’ tidak sekedar dijadikan sebagai bentuk pelarian bagi mereka
yang tidak menguasai aspek-aspek musikal gamelan. Oleh karenanya
diperlukan pemahaman yang jelas terhadap istilah ‘gamelan kontemporer’
itu sendiri.
Menurut pandangan saya untuk menghindari kesalah-pahaman semacam itu
terdapat beberapa catatan yang penting untuk diperhatikan. Pertama
seorang pengkarya sebelum memanfaatkan instrumen dan atau beberapa
instrumen untuk keperluan kekaryaannya, terlebih dahulu harus mampu
mengenal karakteristik dan cara memproduksi suara dari instrumen yang
akan digunakannya. Dengan demikian seorang kreator akan paham betul
dalam memanfaatkan instrumen untuk mencari warna bunyi yang diharapkan.
Tanpa mengenal secara baik karakter, potensi, serta cara memproduksi
suara instrumen, tidak bakal dapat mengeksplorasi kemampuan instrumen
tersebut secara maksimal, dan kadang cenderung memberlakukannya secara
semena-mena. Pemahaman seperti ini lebih diutamakan terhadap
instrumen-instrumen yang secara budaya masih merupakan milik dan hidup
dalam masyarakat. Sekaligus dapat menghindarkan munculnya konflik yang
tidak diinginkan. Bagi instrumen yang didesain secara khusus untuk
keperluan kekaryaan, resiko semacam ini relatif tidak ada, karena tidak
berkait langsung dengan pemilik budaya musik. Jadi, komposisi baru
dengan instrumen rekayasa kreatornya relatif lebih memiliki kebebasan.
Pembuatan instrumen baru sekaligus dapat mempermudah untuk membuat
karya-karya yang tidak senafas dengan karya-karya yang sudah ada, dan
juga lebih merangsang kreativitas bagi kreatornya. Hal ini perlu
mendapat perhatian, karena pada dasarnya setiap bunyi yang dihadirkan
dalam konteks kekaryaan secara estetik musikal harus dapat
dipertanggungjawabkan. Kekaryaan semacam ini biasanya terlahir dari
sebuah proses penjelajahan yang intens terhadap berbagai fenomena bunyi,
kemudian dikompos menjadi sebuah keutuhan. Oleh karenanya memerlukan
kerja studio yang cukup. Tanpa kerja studio yang cukup, sangat riskan
dapat menghasilkan karya yang berkualitas.
Akhirnya tentang makna hubungan antara tradisi dan kontemporer sebagai
sebuah keberlanjutan atau pemisahan sangat bergantung kepada pemaknaan
tradisi dan kontemporer itu sendiri. Jika makna kontemporer lebih
diarahkan dalam pengertian bentuk kekaryaan yang sudah tidak mengkaitkan
idiom-idiom dan konvensi-konvensi tradisi, maka secara jelas ‘gamelan
kontemporer’ bukan sebagai bentuk keberlanjutan gamelan tradisi,
melainkan secara sengaja memisahkan diri dari ketradisiannya. Sebaliknya
jika kata kontemporer dalam musik tidak menunjuk pada sesuatu yang
spesifik, melainkan menyiratkan suatu waktu “masa kini” atau yang
bersifat kekinian, maka kehadiran ‘gamelan kontemporer’ lebih merupakan
sebuah keberlanjutan dari ketradisian gamelan itu sendiri. Dalam
pengertian ini ‘gamelan kontemporer’ tetap berada pada jalur hubungan
dengan sosial-budaya yang melingkupinya. Atas permasalahan ini terdapat
sejumlah komentar sebagai berikut. I Wayan Rai, komponis gamelan Bali,
dan kini Rektor ISI Bali saat diwawancarai, berpendapat sebagai berikut:
“Kehadiran ‘gamelan kontemporer’ di Bali tetap merupakan keberlanjutan
dari tradisi gamelan Bali itu sendiri. Toh misalnya berubah hanya
bentuknya saja tetapi rohnya tetap gamelan Bali”
Pernyatan I Wayan Rai tersebut jika dikaitkan dengan realitas kekaryaan
‘gamelan kontemporer’ yang dicipta oleh rekan-rekan komponis Bali adalah
masuk akal. Contoh-contohnya dapat diamati karya I Nyoman Windha,
Suryantini, Arnawa, Komang Astita, I Wayan Rai, dan komponis lainnya.
Karya-karya para komponis ini tetap bertolak dari genre musik Bali dan
sekaligus tetap menyiratkan roh musik Bali. Antara lain memanfaatkan
gender wayang, pegambuhan, semara pegulingan, kebyar, dan sebagainya.
Apa yang dikemukakan oleh Pak Wayan Rai itu, sesungguhnya tidak saja
terjadi di Bali, melainkan juga terjadi di Jawa dan Sunda. Kendati pun
arah perkembangan gamelan kontemporer dari ketiga daerah ini menunjukkan
sedikit perbedaan, akan tetapi tetap terdapat kesamaan-kesamaannya.
Kesamaan yang paling menonjol, bahwa ketiga daerah ini muncul
komponis-komponis kreatif yang setia terhadap keberlanjutan musik
gamelan. Kendatipun juga muncul komponis-komponis yang tertarik untuk
mengolah karyanya berpijak dari berbagai genre musik etnik nusantara.
Untuk yang disebut terakhir rekan-rekan komponis Solo, adalah yang
terbanyak. Situasi ini dipengaruhi, bahwa di Jurusan Karawitan ISI Solo
terdapat 55 dosen yang sekaligus berstatus sebagai komponis. Mereka
berasal dari latar belakang budaya yang berbeda (Jawa, Bali, Sunda,
Minang, Makassar, Banyuwangi dan Jawa Timur, Madura, Musik Barat).
Bahkan jika dirinci sub-sub etnisnya sangat banyak dan beragam. Setiap
saat mereka saling berinteraksi dan saling membantu dalam berkarya.
Situasi semacam ini juga terdapat untung ruginya. Keuntungannya dalam
berkarya antara para pendukung karya cepat memahami yang dimaksudkan
oleh komponis, sehubungan bahwa mereka kebanyakan juga seorang komponis.
Di samping itu sumber penciptaan (genre) mudah untuk didapatkan, karena
para komponis tersebut memiliki kemampuan musik yang beragam. Terjadi
sharing wawasan musikal yang intensif. Kelemahannya antar komponis
(terutama yang muda) saling terpengaruh jika harus berkarya dalam waktu
yang bersamaan, akibatnya terdapat kemiripan hasil kekaryaannya.
Masing-masing komponis lebih cenderung menyajikan karya ciptanya
sendiri, jarang yang mengyajikan kekaryaan rekan-rekannya. Kecuali jika
mereka bermain bersama dalam satu peristiwa dengan menyajikan kekaryaan
hasil ciptaan mereka. Akibatnya banyak kekaryaan yang dilahirkan kurang
terpublika¬sikan secara baik. Dampak yang paling mencolok hanya terdapat
sejumlah komponis yang setia menciptakan kekaryaan gamelan yang
benar-benar bertolak secara total dari musik gamelan itu sendiri.
Tentunya situasi ini bisa saja berakibat kurang menguntungkan bagi
perkembangan kehidupan musik gamelan di masa-masa mendatang. Hasil
penciptaan yang lebih dominan menggunakan gamelan justru muncul untuk
kegunaan tari dan pertunjukan wayang kulit. Itupun akhir-akhir ini
kekaryaan karawitan wayang lebih cenderung berwarna populer.
Pernyataan Edi Sedyawati berbeda dengan I Wayan Rai. Ibu Edi Sedyawati
berpendapat, bahwa antara gamelan tradisi dan gamelan kontemporer
adalah sebuah pemisahan, bukan merupakan keberlanjutan. Pernyataan Edi
Sedyawati dilandasi argumentasi sebagai berikut.
“Bahwa setiap saat dalam seni termasuk musik selalu ditemukan sesuatu
yang baru. Sesuatu yang baru itu bersifat kontemporer dan kadang
menjelma menjadi genre baru seperti halnya yang terjadi dalam ‘gamelan
kontemporer’.
Argumentasi semacam itu juga logis, akan tetapi yang perlu dipertanyakan
adalah apakah kekaryaan ‘gamelan kontemporer’ yang berupaya untuk
memperluas gramatika gamelan tradisi dengan sentuhan-sentuhan kebaruan,
bukan merupakan sebuah keberlanjutan atau tetap dipandang sebagai sebuah
pemisahan? ‘Gamelan kontemporer’ yang mengarah terhadap pemisahan
memang diperlukan, karena ia merupakan genre baru, akan tetapi tidak
setiap karya ‘gamelan kontemporer’ harus dimaknai dan mengarah kepada
pemisahan dari ketradisiannya. Karena kehadiran ‘gamelan kontemporer’
yang merupakan keberlanjutan dari tradisi gamelan sangat diperlukan dan
bermanfaat bagi keberlanjutan kehidupan musik gamelan itu sendiri.
Realitas menunjukkan, bahwa karya gamelan semacam ini ternyata memiliki
kekuatan membudaya dalam konteks sosial. Akhirnya pemunculan kekaryaan
gamelan perlu mempertimbangkan manfaatnya dalam konteks kehidupan.
Dari sisi lain semakin luasnya makna musik gamelan dapat berakibat
menghambat perkembangan kehidupan musik gamelan dalam pengertian yang
sebenarnya. Memang, secara sekilas tampak, bahwa musik gamelan memayungi
jenis-jenis musik etnik yang lain, akan tetapi dari sudut yang berbeda
justru kurang menguntungkan bagi perkembangan musik-musik etnik tersebut
dan bagi musik gamelan itu sendiri. Untuk itu menurut pendapat saya
‘gamelan kontemporer’ perlu memprioritaskan berkarya dengan titik tolak
dari musik gamelan itu sendiri. Dengan demikian kekaryaan musik
‘gamelan kontemporer’ akan memiliki manfaat yang besar terhadap
perkembangan kekaryaan dan kehidupan musik gamelan. Ini hanya dapat
berlangsung, jika para komponis gamelan berfokus berkarya untuk gamelan.
Sekali lagi demi perkembangan kehidupan musik gamelan diperlukan
komponis-komponis kreatif yang memfokuskan diri berkarya untuk gamelan.
Maka dari itu titik terpenting dalam kekaryaan musik gamelan, terletak
pada sejauhmana kekaryaan musik gamelan tersebut memiliki manfaat
terhadap perkembangan kehidupannya serta asas kemanfaatannya dalam
kehidupan musik pada umumnya.[1] Di Indonesia sistem musik gamelan biasa
disebut karawitan. Kata gamelan di Indonesia lebih dimaknai sebagai
seperangkat alat musik, bukan dalam pengertian sistem musiknya. Gamelan
selalu dicirikan sebagai alat musik yang terbuat dari besi, kuningan,
atau perunggu dengan menggunakan laras (tangga nada) slendro dan pelog.
Sejak sekolah-sekolah formal karawitan didirikan dengan nama
Konservatori Karawitan Indonesia (KoKar), kemudian disusul berdirinya
perguruan tinggi seni di berbagai kota di Indonesia, istilah karawitan
digunakan secara lebih meluas. Dalam pengertian tidak hanya terbatas
musik yang menggunakan perangkat gamelan saja. [2] Di Jawa, Sunda, dan
Bali banyak empu karawitan yang diangkat sebagai pegawai pemerintah
pada Jawatan Kebudayaan. Kendatipun mereka telah menjadi pegawai
pemerintah, namun sebagian besar dari mereka tetap berkarya secara
kreatif.[3] Dalam bidang karawitan (musik gamelan) pengertian empu
dimaknai sebagai seorang yang memiliki virtuositas tinggi, kreatif,
menjadi kiblat atau acuan bagi masyarakat karawitan, serta didudukkan
sebagai nara sumber yang bisa dipercaya.[4]Contoh kasus ini di
antaranya dapat dilihat pada gendhing garap kodhokan dan sejumlah
gendhing yang secara bentuk dan struktur pamijen. Garap kodhokan adalah
sajian gendhing yang pada saat tertentu para musisi diberi kebebasan
keluar dari konteks gending yang disajikan. Sedangkan pamijen istilah
yang digunakan untuk menyebut, baik garap maupun struktur gending yang
keluar dari kelaziman. Pada tahun 1950-an karya-karya semacam ini
semakin merebak.[5] Jenis karya musik yang disusun baru dan tidak
terikat terhadap konvensi-konvensi tradisi disebut dengan istilah
komposisi. Istilah komposisi ini juga digunakan untuk menyebut jenis
kekaryaan ‘gamelan kontemporer’. Jadi dalam penggunaan istilah komposisi
sampai sekarang menurut pendapat saya masih rancu. Alasannya bahwa
semua hasil ciptaan kekaryaan musik adalah komposisi, tanpa harus
dibedakan sumber bunyi, jenis, dan bentuknya.[6] Sebenarnya banyak para
pelaku campursari itu sendiri sangat tipis pemahamannya terhadap konsep
laras slendro dan pelog. Oleh karena di masyarakat karawitan banyak yang
menyebutnya sebagai slendro-pelog diatonis. Hakikat embat yang dalam
konsep laras menjadi penting dalam campursari kurang mendapat
perhatian.[7]Jika dirunut dari awal munculnya penamaan campursari,
perkembangan yang ada sekarang tampaknya telah melebar demikian dahsyat
dari ide awalnya itu. Pada mulanya (1960) munculnya musik campursari
merupakan kesepakatan antara musisi gamelan dengan musisi keroncong.
Antara gamelan dan keroncong dicari titik temu aspek musikalnya. Untuk
membangun keharmonisan musikal disepakati instrumen yang digunakan, baik
dari sisi gamelannya maupun dari instrumen keroncong-nya. Namun dalam
perkembangannya terutama sejak tahun 1990-an format instrumentasi
campursari menjadi meluas tak terbatas. Percampuran tersebut tidak saja
pada instrumen melainkan juga termasuk dalam penggunaan bahasanya. Kini
dengan menggunakan satu instrumen saja (organ) asal lagu yang
dinyanyikan yang biasa dilagukan dalam pertunjukan campursari disebut
pula sebagai musik campursari.[8] Secara tegas yang disebut sebagai
Konservatori Karawitan adalah yang ada di Surakarta, Bandung, Bali,
Surabaya, dan Padang. Sedangkan yang berada di Yogyakarta lebih tebal
orientasinya ke bidang tari, maka diberi sebutan Konservatori Tari
(KonRi). Seiring dengan perubahan zaman dan kebijakan pendidikan di
Indonesia pada tahun (1977?) nama sekolah-sekolah tersebut dirubah
menjadi SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia). Ketika telah
berubah menjadi SMKI di sejumlah daerah yang merasa memiliki musik yang
kuat mendirikan SMKI seperti di Makasar, Banyumas, Palembang, dll. Kini
nama SMKI telah dirubah dan dipandang sebagai sekolah kejuruan, maka
namanyapun kemudian dirubah menjadi SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).
Untuk membedakan dengan sekolah kejuruan yang lain hanya diberi tanda
nomor, seperti SMKI Surakarta menjadi SMK Negeri 8. Lagi-lagi cara
berfikir semacam ini perlu dikritisi. Sebab dengan menyamakan SMKI
dengan sekolah menengah kejuruan pada umumnya, maka prinsip-prinsip umum
sekolah kejuruan harus diikuti. Dalam kata lain tidak memiliki
spesifikasi yang lebih kongkrit seperti halnya ketika masih bernama
Konservatori Karawitan. Dampaknya kualitas lulusannyapun terdapat
perbedaan yang mencolok.[9] Kehadiran para lulusan Konservatori
Karawitan di tengah-tengah masyarakat dari satu sisi menguntungkan
karena pada umumnya terdapat kegairahan kehidupan karawitan di
tengah-tengah masyarakat dan kualitas permainan instrumen dan garap
gending meningkat. Akan tetapi juga terdapat kerugian (terutama di
Jawa), karena gaya-gaya lokal yang bukan datang dari keraton cenderung
tersingkir dan bahkan terdapat yang mati. Pada umumnya lulusan
Konservatori Karawitan Surakarta mendapatkan pelajaran gaya musik
gamelan kraton, sehingga ketika masuk kembali ke masyarakat ia
mengajarkan gaya kraton itu.[10] Banyak sinyalemen dari para tokoh
karawitan, menurunnya sensitifitas atau kepekaan para generasi muda
karawitan terhadap rasa musikalitas karawitan akibat kebanyakan mereka
dalam belajar lebih mengandalkan notasi tulisan. Dengan demikian
penghayatan terhadap esensi atau karakter gendingnya kurang maksimal.
Karena mereka harus membagi perhatiannya menjadi dua, yakni antara
notasi dan permainan. Sampai sekarang tradisi oral masih tetap
hidup.[11] Di Konservatori Karawitan Surakarta dan ASKI Surakarta pada
tahun 1950-1970-an berhasil terdokumentasikan Tiga Jilid Notasi Balungan
Gending-gending Gaya Surakarta, Pola Kendangan, Cengkok-Cengkok
Genderan, Sulukan, Pathetan, dan Ada-ada, Sindhenan Bedaya Srimpi,
Santiswara, dan sebagainya.[12] Setuju maupun tidak mereka menyebut
karya-karya semacam itu dalam rumpun gamelan/karawitan. Tentunya arti
gamelan yang meluas tanpa batas semacam itu dapat merugikan dan
sekaligus juga menguntungkan. Kerugiannya tidak ada batas yang tegas
tentang makna musik gamelan. Akan tetapi juga menguntungkan, karena
gamelan atau karawitan dipahami sebagai musik yang memayungi jenis-jenis
musik lainnya yang hidup di Indonesia.[16] Banyak karya gamelan
kontemporer yang hanya dipentaskan satu kali, baik dalam festival,
ujian, maupun dalam forum lainnya kemudian hilang dari peredaran. Maka
sampai muncul pomeo dari Sadra (seorang komponis kontemporer) yang
menyatakan bahwa ‘gamelan kontemporer’ (komposisi kontemporer) adalah
karaya yang mampu membeayai dirinya sendiri.